Allah ta’alaa berfirman.
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun, pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Al-Anbiyaa’: 47).
Dan Allah ta’alaa berfirman,
“Timbangan pada hari itu adalah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 8-9).
Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda’, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesuatu yang terberat bobotnya yang diletakkan pada timbangan adalah akhlak yang luhur.”
Terdapat banyak hadits yang diriwayatkan, yang menerangkan bahwa amal itu sendirilah yang ditimbang. Contohnya seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Abu Malik al-Asy’ari Radliyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersuci itu separuh dari iman, bacaan ‘alhamdulillah’ itu memenuhi timbangan, ‘subhanallah wal hamdulillah’ itu memenuhi antara langit dan bumi, shalat itu cahaya, sedekah itu bukti, sabar itu kecerahan, dan al-Qur’an itu hujjah yang membelamu atau mencelakakanmu. Semua orang pergi, lalu ada yang menjual dirinya, sesudah itu dia memerdekakan atau dia biarkan binasa.”
Dengan adanya redaksi ‘Alhamdulillah itu memenuhi timbangan’, menunjukkan bahwa amal itu sendiri, meskipun ia merupakan sesuatu yang abstrak yang baru kongkrit bila dilakukan oleh pelakunya, tetapi Allah merubahnya pada hari Kiamat menjadi materi yang nyata, yang bisa diletakkan pada timbangan.Karena dalam hadits yang lain pun dinyatakan,
“Surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran pada hari Kiamat seperti dua gumpalan awan atau dua gumpalan burung, keduanya membela pembacanya.”
Maksudnya, bahwa pahala membaca kedua surat tersebut pada hari Kiamat menjadi sebesar itu.
Pendapat para Ulama Dalam menafsirkan Mizan
Al-Qurthubi mengutip pendapat dari beberapa ulama, bahwa timbangan (Mizan) itu mempunyai dua piringan sangat besar, sekiranya langit dan bumi diletakkan pada salah satunya, pasti termuat. Piringan kebaikan berupa cahaya, sedang yang lain berupa kegelapan. Mizan itu dipasang di depan ‘Arsy. Surga ada di sisi kanannya, dan pada sisi inilah terletak piringan cahaya tadi. Sedang Jahannam ada di sisi kirinya, dan di sisi inilah terletak piringan kegelapan.
Al-Qurthubi juga mengatakan, bahwa kaum Mu’tazilah tidak mempercayai adanya Mizan. Menurut mereka, amal adalah sesuatu yang abstrak, bukan benda yang kongkrit, jadi bagaimana mungkin dia ditimbang?
Lalu, pendapat kaum mu’tazilah itu dibantah dengan meriwayatkan perkataan dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Allah akan membuat hal-hal yang abstrak menjadi benda-benda yang kongkrit.”
Kemudian al-Qurthubi melanjutkan keterangannya, bahwa baik Mujahid, ad-Dhahhak maupun al-A’masy, semuanya meriwayatkan bahwa Mizan di sini, maksudnya adalah keadilan dan keputusan.
Tidak setiap orang ditimbang amalnya
Al-Qurthubi berkata, “Mizan pasti terjadi, namun demikian, tidak mesti dialami setiap orang. Dalilny adalah,
‘Orang-orang yang berdosa dikenal dengan tanda-tandanya, lalu dipegang ubun-ubun dan kaki mereka.’ (Ar-Rahman: 41)
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah ta’alaa berfirman,
‘Hai Muhammad, masukkan umatmu yang tidak dihisab lewat pintu kanan. Tapi, mereka sama seperti manusia lainnya dalam hal yang lain.’”
Banyak hadits mutawatir yang menerangkan adanya 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab. Namun, hal itu tidak berarti bahwa mereka tidak ditimbang amalnya. Tentu, ini masih perlu dibahas lagi. Allahu a’lam.
Maksudnya, bisa saja orang-orang yang beruntung tetap ditimbang, sekalipun pasti berat timbangan kebaikannya. Tujuannya agar kemuliaan mereka bisa disaksikan oleh seluruh makhluk, dan agar kebahagiaan dan keselamatan mereka mendapat sambutan baik.
Dan orang kafir juga tetap ditimbang amalnya, meskipun dia tidak memiliki kebaikan yang berguna, yang dapat mengimbangi kekafirannya. Tujuannya agar dosa-dosa dan nasibnya yang celaka dapat disaksikan semua orang. Karena kebaikan orang-orang kafir telah dibalas semasa di dunia, sehingga Allah tidak perlu lagi memberinya balasan di akhirat. Karena saat itu dia sudah tidak punya lagi kebaikan yang patut mendapat balasan.
Mana yang lebih berat antara kebaikan dan keburukan
Imam al-Qurthubi dan ulama lainnya menjelaskan, “Barangsiapa yang amal baiknya lebih berat daripada amal buruknya, meskipun hanya dengan seutas rumput, maka dia masuk surga. Barangsiapa yang amal buruknya lebih berat daripada amal baiknya, meskipun hanya dengan seutas rumput, maka dia masuk neraka, kecuali bila Allah mengampuninya. Dan barangsiapa yang amal baiknya sama dengan amal buruknya, maka dia tergolong Ahlul-A’raf¬.” Pendapat seperti ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud Radliyallahu ‘anhu.
Sumber: Ibnu Katsir. Huru-Hara Hari Kiamat “An-Nihayah: Fitan wa Ahwaalu Akhiruz-Zamaan”. Terj. Anshari Umar Sitanggal, H. Imron Hasan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2002.