Larangan-Larangan Bagi Hakim Ketika Mengambil Keputusan

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Bakrah berkata, “Abu Bakrah menulis surat untuk anaknya yang berada di Sajistan, ‘Jangan kamu memberi keputusan untuk dua orang yang sedang bertikai sementara kamu sedang marah. Karena aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah seseorang mengadili dua orang yang bertikai sementara dalam keadaan marah’,” (HR Bukhori [7058] dan Muslim [1717]).   Dalam riwayat lain tercantum, “Janganlah sekali-kali memilih satu di antara dua keputusan dan janganlah seseorang memutuskan sebuah kasus dua orang yang bertikai sementara ia dalam keadaan marah,” (HR an-Nasa’i [VIII/247]).
Diriwayatkan dari Ali r.a, ia berkata, “Rasulullah saw. mengutusku ke Yaman mengangkatku sebagai hakim di sana. Aku katakan kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, mengapa aku yang Anda kirim sementara usiaku masih teramat muda dan aku tidak memiliki ilmu untuk memutuskan perkara.’ Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memberi pentunjuk kepada hatimu dan mengokohkan lisanmu, apabila di hadapanmu duduk dua orang yang sedang bertikai maka janganlah kamu  memutuskan perkara mereka hingga mendengar keterangan dari orang kedua sebagaimana kamu mendengarnya dari orang pertama, sehingga jelas bagimu duduk permasalahan mereka yang sebenarnya, dan kamu dapat memberi  keputusan dengan benar’.

Sejak itu aku terus menjadi hakim, atau sejak itu aku tidak pernah ragu dalam mengambil keputusan,” (Hasan, HR Abu Dawud [3582]).

Kandungan Bab:

  1. Celaan menghukum atau menetapkan keputusan ketika sedang marah. Karena keputusan yang diambil dalam keadaan seperti itu akan menyimpang dari kebenaran atau dapat membuat seorang hakim tidak mampu mengetahui kebenaran sehingga ia memberi keputusan yang salah. Perasaan marah dapat mengakibatkan daya nala seseorang berubah sehingga ia tidak dapat mendudukkan permasalahan menurut porsi yang sebenarnya. Allahu a’lam.
  2. Larangan ini juga mencakup semua hal yang dapat merubah cara berfikir, atau dapat mengganggu konsentrasi jiwa sehingga sulit untuk menegakkan hukum. Seperti rasa lapar, haus, dan rasa kantuk yang amat sangat serta segala sesuatu yang erat kaitannya dengan hati yang dapat mengganggu daya nalarnya dalam memberikan keputusan.

Umar pernah mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari r.a, Ia berkata, “Jauhkanlah dirinya dari perasaan gelisah dan susah, merasa disakiti orang dan jangan samapi kamu gugup di hadapan orang yang bertengkar di majelis pengadilan yang mana Allah Ta’ala menyiapkan pahala yang banyak dari perbendaharaan yang baik.”

Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya I’lamul Muwaqi’in (II/175) berkata, “Ucapan ini mengandung dua perkara:

Pertama: Mengingatkan bahaya yang dapat menghalangi seorang hakim untuk dapat memahami sebuah kasus. Ia tidak akan menjadi salah satu dari tiga golongan yang terbaik apabila terkumpul padanya dua perkara: Emosi dan gelisah. Kegoncangan jiwa yang bertentangan dengan keduanya. Sebab emosi (amarah) adalah penutup akal, sebagaimana  halnya minuman keras.

Kedua: Teguh dan sabar dalam melaksanakan kebenaran. Menjadikan keridhaan untuk mewujudkan kebenaran ketika emosi datang, sabar ketika sedang susah dan gelisah dan mengharapkan pahala ketika disakiti. Obat ini merupakan penawar penyakit yang memang sudah  menjadi tabi’at manusia dan dapat melemahkan kondisi mereka. Apabila obat ini tidak sesuai dengan penyakit, tentunya penyakit itu pun tidak mungkin dapat disembuhkan. Apalagi perasaan gugup dan takut di hadapan pihak yang sedang bertengkar dapat melemahkan jiwa, mematahkan hati dan membu dan membuat lidah menjadi kelu untuk membantah alasan-alasan mereka, karena perasaan gugup tadi. Apalagi ia hanya gugup dan takut kepada salah satu pihak saja. Jelas, itu merupakan penyakit takut yagn sangat berbahaya.

Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Umm (6/199), “Yang dapat difahami ketika marah adalah marah dapat mempengaruhi akal dan pemahaman. Keadaan apa saja  yang dirasakan seseorang dapat mempengaruhi akal dan pemahamannya maka pada saat itu tidak boleh memutuskan suatu perkara. Jika ia merasakan sakit, lapar, cemas, sedih atau senang yang berlebihan akan  mempengaruhi pikiran. Atau pada saat itu tabi’atnya sedang enggan memberi keputusan. Apabila hal itu tidak mempengaruhi akal, pikiran dan tabi’atnya maka ia boleh melakukannya. Adapun mengantuk dapat menyelimuti hati sebagaimana orang mabuk. Oleh karena itu orang yang sedang mengantuk, orang yang  hatinya sedang galau, atau sedang sakit tidak boleh memutuskan suatu perkara karena hatinya sedang diliputi sesuatu.”

Hukum yang diputuskan ketika marah tidak berlaku. Sebab larangan tidak berkaitan dengan keputusan. Larangan ini menunjukkan bahwa keputusan itu batal. Dan ini bukan berarti bertentangan dengan keputusan Rasulullah saw. terhadap Zubair bin Awwam r.a, tentang pengairan setelah Rasulullah saw. memarahinya, sebab kriteria ini tidak berlaku untuk Rasulullah saw. yang dijaga Allah dari kekeliruan. Juga dikarenakan beliau selalu bersikap adil baik ketika marah maupun ketika ridha. Adapun untuk selain Rasulullah saw. maka harus memenuhi kriteria tadi dan berarti larangan di atas tetap berlaku. Allahu a’lam.

penyebutan kata marah secara mutlak berarti tidak boleh membeda-bedakan tingkat kemarahan dan sebab-sebabnya dalam hukum.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/564-566